Senin, 29 Desember 2014

TEORI POLITIK PLATO (429 - 347 SM)



Ada 3 buku yang ditulis oleh Plato, ketiga buku tersebut adalah :
1.      Politeia (tentang negara).
2.      Politicus (ahli negara).
3.      Nomoi (undang-undang) Pokok-pokok Filsafat Plato.

Negara sempurna tidak pernah ada dan tidak mungkin tercapai di dunia ini, negara sempurna hanya ada dalam pikiran (cita) manusia saja (laid up in the heaven as a pattern). Pemimpin negara atau pemerintah berkewajiban berusaha mencapai negara atau pemerintahan yang sempurna. Supaya negara ini mendekati yang sempurna maka seyogyanya dipimpin oleh filusuf. Teori Plato ini bersifat teori moral, yaitu bagaimana seharusnya dan sebaiknya negara itu diatur dan diperintah.

Negara timbul atau dibentuk karena banyaknya jenis kebutuhan dan keinginan manusia. Di dalam negara yang ideal seharusnya ada 3 golongan warga negara :
1.      Kelas yang memerintah atau yang memegang pimpinan (the rulers). Pemimpin-pemimpin negara ini seharusnya terdiri dari orang-orang ahli fikir atau filosof-filosof yang tinggi pengetahuan dan akalnya.
2.      Kelas pengawal negara, yakni orang-orang yang menjaga keselamatan dan keamanan negara, yang harus mendapat didikan khusus untuk tugasnya itu (the guardians). Kelas ini terdiri dari orang-orang yang memiliki keberanian.
3.      Kelas golongan pengusaha, seperti petani, pekerja, pedagang dan sebagainya, yang menjamin makan dan kebutuhan materil lainnya bagi kedua golongan tersebut di atas.

Bentuk pemerintahan di dalam negara yang ideal itu adalah Aritokrasi, karena yang memimpin negara adalah golongan filosof. Hanya golongan ini dalam pemerintahannya akan dibimbing oleh cita keadilan.

Menurut Plato ada 5 bentuk negara yang buruk, yaitu :
1.      TIMOKRASI.
Dimana pemimpin negara dipegang hanya oleh orang- orang kaya. Timokrasi ini bentuk degenerasi dari aristrokasi
2.      OLIGARKHI.
Sistem pemerintahan dimana segelongan kecil warga negara saja yang memegang pemerintahan.
3.      DEMOKRASI.
Yaitu pemerintahan oleh masyarakat miskin. Bila kemelaratan umum yang ditimbulkan oligarkhi tidak tertahankan lagi, maka lalu rakyat miskin membentuk dan merebut kekuasaan dalam demokrasi menginginkan kebebasan Anarkhi.
4.      ANARKHI.
Bila tidak ada pembatasan kebebasan, maka orang-orang lalu berbuat sesuka hatinya, sehingga tidak ada lagi suatu kekuasaan yang mengatur ketertiban umum.
5.      Bilamana anarkhi sudah tidak dapat lebih lama lagi dibiarkan merajalela, maka rakyat lalu memilih seorang di antara mereka yang mempunyai kelebihan dari pada orang lain di dalam berbagai hal (primus interpares) untuk memimpin negara.


TEORI POLITIK SOCRATES (470 - 399 SM)



Metode yang digunakan Socrates adalah Metode Dialektika, yakni Thesis (dalil atau pendapat), Antithesis (serangan terhadap dalil) dan Synthesis (perpaduan atau jalan tengah).

Menurut Socrates, adanya negara itu merupakan keharusan yang obyektif yang disebabkan oleh kodrat manusia (fitrah manusia). Tugas negara adalah mendatangkan keadilan, yang baru dapat terjelma bila mana negara diperintah oleh orang-orang yang terpilih dengan cara seksama.

Socrates meyakini bahwa pada dasarnya setiap orang mempunyai kesadaran hukum dan keadilan. Hati nurani manusia pada dasarnya berisi Nur Tuhan yang Maha Pemurah dan Adil serta penuh kasih sayang. Walaupun kadang-kadang menonjolkan sikap ketamakan, kejahatan dan kedzoliman.

Socrates berpendapat bahwa negara bukanlah suatu organisasi yang didirikan manusia untuk kepentingan diri pribadi. Negara berkewajiban untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dan keadilan sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan setiap orang. Negara bukanlah untuk melayani kepentingan dan memenuhi kebutuhan para penguasa negara. Keadilan sejatilah yang harus menjadi landasan kerja dan pedoman pemerintahan negara. Bilamana hal itu dijalankan, maka setiap manusia di dalam negara akan merasakan ketentraman dan ketenangan jiwa yang sejati. Sedangkan bila pemerintahan itu dijalankan berlandaskan dengan kebatilan dan kedzoliman, kalaupun dapat diperoleh kesenangan, maka kesenangan itu merupakan kesenangan yang palsu.

Ajaran dan pemikiran Socrates ini oleh penguasa pada waktu itu dianggap berbahaya, akhirnya Socrates ditangkap dan disuruh minum racun. Saat itu Socrates berkata :”Lebih baik mati dalam keyakinan dari pada hidup tanpa keyakinan.”

TEORI POLITIK NICCOLO MACHIAVELLI (1467 – 1527)


Prinsip dasar pemikiran politik machiavelli adalah “menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (keagungan negara)” seperti penipuan, kebohongan, kekerasan bisa dibenarkan demi kemashuran negara.

Dalam hal kedudukan agama, agama diperlukan semata-mata sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran agama itu. Oleh sebab itu mempertahankan ritual ibadah bagi penguasa harus tetap dipertahankan, dengan cara itu republik akan terbebas dari kebokbrokan. Mengabaikan ritual keagamaan pertanda keruntuhan negara.

Menurut Machiavelli, janji itu dapat dijadikan alat bukan esensi atau sikap.”Perlihatkanlah bahwa engkau seakan-akan berpegang teguh pada janji, sungguhpun batinmu menolak”. Ini memberikan makna sikap kemunafikan atau hipocrit sesuatu yang absah dan dibenarkan. Seseorang harus dapat bersikap sebagai seorang singa pada suatu waktu, tetapi pada saat yang lain sebagai seekor kancil.

Sebuah kekuasaan atau negara harus memiliki tentara dan membangun angkatan perang yang tangguh dan loyal serta memiliki kemampuan berjuang mati-matian demi negara. Hanya dengan cara ini negara akan disegani oleh negara lawannya. Keberhasilan penguasa, sebagaimana Nabi, dalam sejarah menurut Machiavelli, hanya Nabi-Nabi bersenjata (the armed propheth) dan memiliki kekuatan militer yang berhasil memperjuangkan misi kenabiannya. Sebaliknya Nabi yang tidak bersenjata akan gagal betapa pun baik dan sakralnya misi yang dibawa. Oleh karena itu, angkatan perang merupakan bagian terpenting dari seorang penguasa negara.

Penguasa, harus membentuk keahlian militer bagian dari miliknya yang berharga. Memiliki kemampuan ilmu perang atau strategi militer maupun pertempuran adalah penting bagi seorang penguasa demi kemampuan negara dan kekuasaannya. Kewaspadaan dalam latihan perang dan militer harus terus dipikirkan tidak hanya dalam keadaan perang melainkan juga di masa damai. Pada saat damai harus dijadikan masa untuk melakukan persiapan dalam menghadapi peperangan. Tidak ada perdamaian tanpa persiapan untuk berperang.

"KALAU INGIN DAMAI BERSIAPLAH UNTUK BERPERANG"


Mengenai agama, Machiavelli betapapun pandangannya terlalu realisme dalam politik, dalam konteks agama dengan penguasa, baginya tetap tidak harus dipisahkan. Wibawa penguasa negara tanpa agama tidak cukup menjamin lestarinya persatuan dan kekuasaan. Itu berarti agama tidak dapat dilepaskan dalam proses politik. Akan tetapi, ia memiliki rasa simpatik terhadap agama Romawi kuno, dan sebaliknya sinis dan antipati terhadap agama Kristen. Ia melihat sebab banyak penguasa gereja menyalahgunakan kekuasaannya, bertindak despotik dan tidak bermoral. Tindakan tidak bermoral mereka itulah, menurut Machiavelli yang menyebabkan disintegrasi moral publik, menimbulkan kekacauan sosial dan keagamaan. Sikap acuh tidak acuh Machiavelli terhadap kebenaran agama, akhirnya menjadi sifat umum dari masyarakat Eropa dua abad sesudah ia menulis.